nina kecil, ini sudah kedelapan belas kali tiup lilin
Hari ini tanggal 17 bulan kedua. Aku masih dibendung ketakutan di mana-mana. Di setiap kali kelopak mata terbuka hingga mimpi yang tak berani menyapa. Mungkin ia tau aku hanya ingin tidur dengan tentram. Pagi tadi, aku lihat senyum Ibu dan doa yang sempat beliau langitkan di antara kusut jejak kurang beraturan kaki beliau. Katanya, biar hidup putri sulungnya mulia dan selalu dapat bahagia, segala yang baik di dunia dan selamat di kehidupan yang lebih abadi dari jejak tapak di atas bentala. Belum sedetik dari aku membuka mata, Tuhan sudah beri ucapan dan kado paling mulia, yang harganya tak akan bisa kutebus meski telah merantau hingga lupa pulang ke rumah.
Di hela napas pertama, Tuhan beri kado lainnya lewat tulisan paling tulus yang pernah aku baca. Katanya di dalam doa paling agungnya, ia menitipkan segala senyum lebar dan bahagiaku agar selalu dijaga oleh Yang Paling Segala.
Di gerak pertama setelah malam yang jadi singkat sejak sesak remat-remat dunia, Tuhan beri kado indah lainnya lewat karya seni bertinta biru. Katanya, semoga sinarku tetap bersinar karena ia bilamg dan berdoa bahwa aku bintang paling terang.
Aku sudah lupa kapan tetakhir kali rasa senang datang dalam pertambahan usia. Mungkin Nina kecil terlalu menyukai ulang tahunnya. Hingga ia habiskan semua rasa senang dalam setiap potongan kue dan nasi kuning menjulang. Hingga tak ada lagi rasa senang untuk ulang tahun yang akan terus berulang.
Mungkin juga dulu Nina kecil masih terlalu naif untuk mengerti arti ulang tahun yang sesungguhnya. Hingga di perulangan yang kedelapan belas, yang tersisa hanya buih-buih ragu dan takut yang entah kapan meletusnya. Entah kapan habisnya. Entah kapan tuntasnya.
Nina kecil apa kabarnya? Apa masih senang menangis? Nina kecil ke mana perginya? Boleh kita bertamasya sebentar? Ceritakan padaku bagaimana rasanya susu putih yang selalu kauisap sebelum tidur. Ceritakan padaku seperti apa rasanya memakai sepatu pertamamu untuk pergi ke dunia baru. Lalu akan kuceritakan bagaimana Nana yang sok dan menolak besar ini bergelut dengan isi kepalanya sendiri. Lalu akan kuceritakan bagaimana Nana yang sok dan menolak besar ini masih saja terjebak di antara jeruji-jeruji rasa takutnya sendiri.
Nina kecil dulu punya hobi seperti apa? Ayo ceritakan sedikit saja, karena aku sudah lupa. Ceritakan sedikit saja supaya aku bisa mencicipinya sedikit barang sedetik saja.
Nina kecil dulu masih belum mengerti, ya? Kalau pergi yang dimaksud orang-orang dengan pergi haji tak ingat kembali? Ke mana perginya dirgantara paling tangguh sejagat raya itu? Masih kah pergi haji? Ia pasti hamba paling suci karena pergi menyembah Tuhannta bertahun lamanya hingga lupa kembali menyambut rumah. Hingga tugasnya itu diambil alih oleh hati putihmu—untuk menyambut yang tak pernah kembali—hingga bertahun setelahnya pun, kamu tetap penyambut yang tak juga ahli menyambut yang telah pergi.
Maka aku katakan padamu, Nina kecil yang baik hati, menyambut yang pergi tak kembali memang bukan pekerjaan yang mudah. Bahkan untuk orang yang sudah meniup lilin keseratusnya pun, menjadi penyambut kepergian tetap jadi pekerjaan yang paling sukar dan mahal gajinya. Karena ia dibayar dengan keikhlasan.
Nina kecil, aku harap tidurmu selalu tentram di balik selimut tebal karena bertahun setelahnya, kupastikan kamu akan merindukan tidur yang tenang.
Tahun ini, semoga aku masih sanggup menghidupi senyum dan tawamu yang terus bersemayam. Semoga lutut-lutut rentanmu tak harus diplester, semoga telapak-telapak tanganmu tak lagi harus bersibobrok dengan kasarnya tanah saat jatuh dan harus berdiri lagi. Semoga hati lembutmu tak harus meronta merintih minta diberi penyembuh yang aku tak akan tau pasti di mana bisa menemukannya.
Dan semoga ketakutan-ketakutan liarmu menemukan penangkarnya. Karena takut atau tidak, angkamu akan tetap bertambah seiring langkah.
Nina kecil, nanti kita tukar cerita lagi. Nina kecil, semogakan aku agar bisa menyapamu lagi tahun depan.
— delapan belas tahun sejak rasa senang, si sok dan menolak besar.